Author Archives: Nuni

MELEPASMU

Kubawa hatiku agar berderu sampai terdengar ke telingamu,

Kukirimkan kesungguhanku agar menyelinap dalam batinmu.

 

Aku berdiri,

Di depan sang pujaan hati,

Yang kusebut,

Kuukir,

Dan kubingkai namanya dalam hati, setiap hari.

 

Aku berdiri di depanmu,

Sepasang mata melihat kejanggalan tak begitu jauh,
Benarkah itu bidadarimu?
Penghias kalbumu?
Pengukir cinta di setiap langkahmu?
Oh, aku mendadak pilu.

 

Kini aku berdiri,

Dua pasang mata saling beradu,

Mataku dan matamu,

Hanya ada harap semua ini tak terjadi padaku,

Entah apa yang ada dalam pikirmu,

Aku pun tak tahu.

 

Waktu begitu cepat berlalu,

Mungkin agar aku tak berlama-lama mematung di depanmu,

Menunjukkan sebongkah cemburu dan lesu yang tergambar di kedua bola mataku,

Aku tak mau itu.

 

Tuhan, jika hari ini Engkau ingin mengatakan sesuatu,

Katakanlah,

Tunjukkan agar aku segera tahu.

 

Kado ulang tahun yang kubingkai rapi,

Kusiapkan dari jauh-jauh hari,

Kukemas dengan setulus hati.

 

Kini kado itu berada di kedua tanganmu,

Bukalah perlahan karena di dalamnya ada secuil harapan,

Harapan yang mungkin tak ‘kan jadi kenyataan,

Bila ini memang sudah takdir Tuhan.

 

Pergi,

Aku kan coba mengerti,

Walau ada luka luruh dalam darahku,

Menggenangi batin yang kutarik tuk menjauh darimu.

 

“Kau terlalu baik untukku”, katamu.

Itu pertanda asaku tuk dapat terbang bersamamu,

Tak sampai menembus dinding-dinding hatimu,

Mungkin sengaja kau tutup,

Dan kau buka untuk seorang wanita,

Tapi bukan aku.

 

Tuhan, aku menyerah,

Di balik tawa yang bergema,

Ada air mata yang kusimpan dalam diam,

Biar hanya aku dan Engkau yang tahu.

 

Sungguh, pudarkan asaku,

Cepatkan waktu berlalu,

Dan segera hapuskan namanya dalam relung hatiku.

 

Aku melepasmu.

 

*Based on bestfriend’s story*

Surabaya, 14 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

REMANG LILIN

image

Remang lilin seperti pengagum rahasia.
Hanya bisa merasa tak berani bicara.
Hanya bisa menunggu dalam pekatnya cerita.
Hingga habis masa, Tuhan mematikan cahaya.
Asa pun padam begitu saja…

 

Surabaya, 26 Oktober 2015.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Ada janji kusimpan di sudut lemari,

Bukalah perlahan lalu amati,

Ada rindu yang kujahit rapi,

Nanti…

Saat berakhirnya urusan ini,

Aku akan kembali,

Berstilistika,

Merangkai kata,

Yang selama ini menjelma layaknya pengagum rahasia,

Sembunyi tanpa berani bicara,

Merasa tanpa berani mengakuinya,

Sebentar lagi…

Nama, asa, dan segala yang sempat tersirat,

Akan kuubah jadi tersurat,

Agar bebas dan tak menjadi berat.

 

Surabaya, 09 September 2015.

(Posted by Nuni رحموت )

PENGAWASMU DARI JAUH

Untukmu jiwa yang sedang terlelap dalam balutan sisa air wudhu,

Yang kini direbahkan malam bercahayakan langit kelabu…

 

Untukmu jiwa yang seolah tak pernah merindu sepertiku,

Tidakkah kau dengar di luar,

Hujan datang tanpa diundang,

Seperti asaku untuk meraihmu yang tak juga berkurang,

Hujan kini bersenandung,

Mengisahkan detik demi detik yang berlalu kian cepat,

Oh, sungguh baru hari ini aku bisa memandangmu dari dekat,

Meski harus sesekali bersembunyi agar tak terlihat…

 

Duhai jiwa yang sedang terbaring lelah,

Tidakkah merasa,

Ada sepasang mata yang akhir-akhir ini terpana,

Pada sosok yang entah apakah bisa raga ini menggapainya…

 

Duhai jiwa yang esok ‘kan terbangun dengan senyuman seperti biasa,

Sederhana namun bagai pelita dalam gulita,

Tidakkah kau curiga,

Ada sepasang mata yang tak lelah singgah,

Diam di satu titik untuk waktu yang lama,

Ada lidah yang mengelu sedang doa tak juga lepas dari kalbu,

Berharap Tuhan mengizinkanku memiliki senyum indah itu…

 

Untukmu jiwa yang di setiap helaan nafas selalu terukir nama Rabb-mu,

Yang sungguh membuatku ingin menjadi bagian dari hidupmu,

Coba sejenak kau buka jendela kamar itu,

Dengarkan suara hujan yang menderu,

Menutupi untaian doa tanda cinta yang kulayangkan untukmu,

Namun aku malu,

Malu pada Tuhanku,

Juga malu padamu…

 

Untukmu nama yang telah tersemat di antara percakapanku dengan Yang Maha Memiliki Cinta,

Semoga hujan malam ini benar-benar membantuku dalam mengijabahkan doa,

Semoga hujan malam ini tak sampai hati menghapuskan jejak kaki di beberapa saat lalu,

Saat aku tengah menikmati peranku sebagai pengawasmu dari jauh.

 

Surabaya, 26 Mei 2015.

(Posted by Nuni رحموت )

HUJAN DI PELUPUK MATA

Ada hujan di pelupuk matamu,

Menggenang dan mulai terjatuh satu demi satu,

Bersamaan dengan itu,

Senja mulai enggan menampakkan ronanya,

Seakan menyerah pada ribuan tanda tanya.

 

Ada hujan di pelupuk matamu,

Berlinang membasahi relung kalbu yang tengah merindu,

Hujan kian deras di matamu,

Seolah secarik tisu tak mampu lagi menawar derita,

Meratap pada langit dengan penuh iba,

Berharap Tuhan berada di sampingnya,

Memeluknya dan berkata,

“Semua akan indah pada waktunya. kau hanya perlu menjalani ini saja.”

 

Surabaya, 20 Desember 2014.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Perjalanan ini memang tak mudah,

Semakin lama kian menanjak, berkelok, terjal, dan tak jarang menurun tajam…

 

Terkadang seperti berdiri di tepi tebing tertinggi,

Terkadang seperti menyusuri jalan setapak tanpa pelita,

Gelap dan tak tahu arah..

 

Namun jika menyerah,

Tak kan pernah kudapati apa-apa,

Sebab sudah sejauh inilah adanya…

 

Bukankah langkahku sudah terlatih menempuh jarak berpuluh-puluh waktu,

Bukankah jiwa sudah terbiasa merajut rindu yang terjuntai panjang sejak dulu,

Kini, biar aku tetap melangkah walau kaki penuh luka,

Biar hati memupuk kembali kerinduannya dalam kesabaran tiada tara,

Dan biar aku tetap terbang walau dengan sayap patah…

 

Hingga waktu dititahkan Tuhan untuk menuntunku,

Berhenti di penghujung jalan,

Menemukan ragamu menggenggam secercah cahaya,

Yang bersamanya sebongkah keberhasilan dan kebahagiaan,

Seperti yang selama ini dirindukan,

Akhirnya telah pantas kudapatkan.

 

Surabaya, 13 Desember 2014.

(Posted by Nuni رحموت )

KESALAHAN MAKNA

Dalam sunyi aku diam,

Dalam rengkuhan malam panjang,

Di bawah atap gemintang yang bertengger di dinding-dinding rapuh,

Di balut suara jam yang berdetik lirih.

 

Terdengar paraumu namun lantang,

Nyaring membuyarkan lamunan,

Aku tergopoh memastikanmu tersadar dan masih dalam penjagaan Tuhan,

Kau terlonjak di tengah kacaumu,

Ranjang dan pintu jadi saksi bisu,

Atas apa yang tak kutahu.

 

Di sepersekian detik sebelum kelopak terpejam, aku mendesah,

Sikapku yang kau balas dengan ketus,

Sapa yang kau balas dengan pengusiran,

Terpaksa menggiringku dalam lelap berbalut duka,

Berduka atas rasa peduli yang ada,

Yang kau kira telah terjadi lewat makna yang salah.

 

Surabaya, 26 Agustus 2014.

(Posted by Nuni رحموت )

PERINDU

Ada salam dari seseorang bernama perindu,

Ia sedang berteduh di bawah pohon randu,

Tepat di samping halaman rumahmu,

Tidakkah kau tahu hal itu.

 

Ada titipan dari seseorang bernama perindu,

Menitipkan rindunya lewat hembusan sang bayu,

Tidakkah kau rasakan di setiap langkahmu,

Di setiap lengahmu,

Ada ia yang mencuri-curi waktu untuk layangkan untaian rindu,

Yang bahkan ia titipkan pada sosok tak kasat mata bernama debu.

 

Ada bisikan dari perindu,

Ia berusaha menerobos ke celah kalbumu,

Tapi takut kau usir karena ia tahu,

Di depan singgasanamu tergores tinta biru layu,

Bertuliskan, “Tidak menerima tamu!”

 

Ada senyum dan ucapan selamat tinggal dari perindu,

Ya, ia perindu yang belakangan ini merindumu,

Rindu akan tawa, canda, dan rasa yang indah,

Yang beberapa bulan lalu kau sendiri yang sematkan ke hatinya,

Ketika ia tertipu oleh rasamu yang palsu,

Ia berubah menjadi perindu yang tak tahu waktu,

Tak tahu bahwa yang dirindu hanya ingin mempermainkan hatinya,

Berhasil memupuskan lukanya, membuka asa untuknya,

Namun hanya sekedar untuk bersenang-senang saja.

 

Ya, perindu merajut rindu untukmu,

Rajutannya berwarna biru kelabu,

Ia letakkan di depan pintu kamarmu,

Bukalah perlahan jangan sampai ketahuan,

Semoga rindu yang ia rajutkan cukup memberi arti,

Bahwa kau pernah berarti bagi perindu,

Yang kini berusaha menghilang dari hidupmu.

 

Salam rindu, dari perindumu,

Semoga di lubuk kalbu ada rindu yang sama darimu,

Walau nyatanya, tak akan pernah terbalas kerinduan itu,

Karena hatimu hanya satu,

Dan sudah tidak lagi menerima tamu!

 

Surabaya, 31 Juli 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

PERINDU REMBULAN

Malam bertanya pada gemintang,

Salahkah jika perindu sampaikan pilunya yang kian membiru?

Tidakkah haru melihat perindu meratapi kalamnya yang pernah diutarakan,

Satu demi satu itu,

Manakah diantaranya yang membuat yang dirindu semakin menjauh dan diam membisu?

 

Malam kembali terngiang,

Akan ia yang menyulam rindu selama sembilan bulan,

Hampir sama seperti umur kandungan,

Dan hari ini ia pulang kandang,

Membawa aksara yang dirangkainya,

Untuk dilayangkan kepada rembulan yang makin lama kian menjauh,

Padahal perindu hanya ingin bertegur sapa,

Mengulas senyuman dan asa yang barangkali terbayar setengahnya.

 

Rupanya benar si peribahasa,

“Bagai punuk merindukan bulan”,

Perindu si punuk, merindukan bulannya,

Sampai sahara menjadi genangan air hujan,

Atau hingga para camar tak bersayap,

Bulan tetaplah akan menjadi ia,

Milik semesta,

Kodratnya yang kian lama harus menghilang,

Tinggal bayang,

Sampai kapanpun hanya bisa dipandang dan dikenang.

 

Malam untuk terakhir kalinya berkaca,

Menyadari ia punya rupa,

Ia kelam,

Ia gelap,

Bagaimana mungkin merindu rembulan yang menawan dan bersinar terang?

 

Surabaya, 09 September 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

MENGULAS MASA LALU

Izinkan sejenak kulawan sunnah kehidupan,

Mengais masa lalu yang telah hilang dari pandangan,

Menyisir satu demi satu kenangan tak bertuan,

Dari awal hingga akhir pertemuan,

Saat hiasi hari dengan rasa yang tak karuan.

 

Dulu, aku dan kau beradu,

Di setiap malam bertemu,

Meramu rindu,

Tawa, bahagia, duka, dan air mata mencampuradukkan asa di dalamnya.

 

Namun fakta menitahkanmu kembali ke singgasana,

Tinggalkan memori indah tanpa nama,

Setelang kukenang semua,

Akan kujadikan satu serpihannya,

Kukumpulkan ia,

Kututup dan kuikat rapat-rapat,

Kusimpan di tempat tergelap,

Hingga aku sendiri terlupa di mana letaknya,

Yang tak ‘kan pernah bisa lagi dibuka,

Ditemukan atau diulas kembali ceritanya.

 

Biar mereka: tentang kita,

Menjadi sejarah yang usang termakan usia.

 

Surabaya, 29 Agustus 2013.
(Posted by Nuni رحموت )

GETIR

Makhluk di penjuru dunia tertawa,

Melemparkan mawar hitam satu demi satu,

Sambutan meriah atas memukaunya peranku,

Benda mati di sekeliling pun jadi saksi,

Menumpahkan keharuannya atas cerita yang bak anak tiri.

 

Entah apa ini namanya,

“Getir” kurasa,

Tawanya seolah aku pantas dicaci,

Tak dihargai,

Mawar hitamnya simbol atas duka cita,

Seolah aku pantas lenyap ditelan bumi,

Dan keharuan yang ada seolah pertanda,

Bahwa tak ada tempat yang pantas untuk kusinggahi.

 

Getir sekali,

Kupastikan ini yang terakhir,

Jatuh ke lubang yang sama,

Tenggelam dalam telaga penuh luka,

Segala menghina, semua tertawa,

Menghujamku dengan seruan bahwa akulah yang salah.

 

Getir sekali,

Getirnya tak dapat kutawar lagi,

Lebih getir dari ribuan pedang yang dihunuskan ke hati,

Hingga membuatku ingin pergi,

Pergi dari manusia si penancap belati,

Pergi dari mereka yang lidahnya meracuni setajam seligi.

 

Inilah getir tergetir yang kutemui,

Bak permata yang tertutup debu,

Ketulusan ini tak ada yang mau tahu,

Hanya hitungan jari yang sadari hal itu,

Selebihnya?

Yang dipercaya, yang dicinta,

Yang dikorbankan segala,

Hanya memandang tak lebih dari sekedar sampah,

Hina,

“Kubuang kau jauh-jauh!” katamu,

“Kau busuk, tak bermakna, enyah saja!” katanya,

“Kau terbusuk, terburuk dari yang paling buruk!” kata mereka.

 

Inilah getir tergetir,

Kupastikan ini yang terakhir,

Setibanya jiwaku di singgasana Rabb-ku,

Telaga air mata bercampur derita,

Akan bersaksi di hadapan Tuhan-nya,

Dzat yang tak pernah tidur,

Yang tak akan memberi remisi pada para napi,

Ketika kekeliruannya telah terbukti,

Sebab pengawasan-Nya lah yang paling sempurna,

Hingga tiada luput di dalamnya.

 

Inilah getir yang kurangkai dalam barisan kata,

Yang kujamin mereka tak mengerti juga,

Tentang apa yang tersirat di dalamnya,

Lihatlah dia,

Wanita,

Pria,

Keduanya sempat dipuja dan dipercaya,

Keduanya dibanggakan di awal cerita,

Namun kini berkoalisi untuk menghina,

Mencaci, dan menguburku tanpa hati,

Sebab di matanya akulah sampah,

Yang pantas disalahkan dan dibuang kapan saja.

 

Dialah wanita dan pria,

Getir tergetir yang pernah ada,

Yang tak ingin lagi kuingat namanya.

 

Surabaya, 24 Agustus 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Tunggulah sebentar,

Hanya tinggal menitikkan airmata beberapa liter lagi,

Untuk menjelma jadi embun pagi,

Di mana doa akan terlayang ke alamat Tuhan,

Lalu aku akan datang ke singgasana,

Dan kita akan melepas kerinduan,

Bagai camar kembali pulang,

Laksana gersang merindukan hujan.

 

Surabaya, 23 Juli 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Kau ingin menulis puisi,

Di sini,

Di tempat kau ingin bersembunyi dan menepi,

Menumpahkan gerutu jadi coretan tak berarti,

Lalu menghanyutkannya di antara biru,

Mengawasi suratmu yang layu,

Biru kemudian abu-abu,

Dan gerutumu pun berlalu.

 

Kau ingin menulis puisi di sini,

Di tengah biru yang memalsu,

Gumpalan awan menyerupai rindu,

Yang tak bisa kau sapu,

Atau tak tersentuh oleh jemarimu.

 

Di sini,

Tanpa tepi,

Penuh teka-teki,

Hingga ragamu serasa ingin tenggelam pergi,

Hilang di bawa ombak berlari,

Sementara tanya belum terkuak,

Masih tersaji, rapi, seperti ini.

 

Surabaya, 24 Mei 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

KETIKA CINTA BERBICARA

Ketika cinta berbicara,

Entah datang ataupun pergi,

Anggap ia laksana pelangi,

Yang akan hadir warnai hari,

Terkadang  menyisakan tangis yang menderu,

Asa yang menggebu,

Lalu hilang bagai debu,

Namun juga akan menyibakkan kelabu,

Jadi bahagia yang baru,

Semua tergantung waktu,

Dan kehendak Rabb-mu.

 

Surabaya, 21 Mei 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Terlintas sebuah nama,

Namanya di sela-sela senja,

Hingga raganya menjelma jadi kembang penat,

Merebahkan jiwa dalam telaga duka,

Dan terbangun penuh air mata.

 

Surabaya, 16 Mei 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Jika sebuah raga,

Sebuah nama,

Berkenan kembali dalam satu tujuan kebaikan,

Aku akan menyambutnya dengan pelukan selamat datang,

Memintanya singgah lebih lama,

Agar ia tahu bahwa sukma ini paham bagaimana rasa ketika jadi ia.

 

Surabaya, 05 Mei 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Andai Tuhan menitahkan lewat taburan gemintang,

Mengirimkan sebongkah kerlip kerinduan,

Rindu pada ia sang penawar luka, penghapus airmata,

Karena ia tahu pasti bagaimana rasanya.

 

Namun bagaimana jika aku hanya sanggup berkata,

Dalam tarikan nafas panjang,

Ada harap semoga Tuhan mengizinkan.

 

Surabaya, 05 Mei 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

PEREBAH PENAT DI MASA LALU

Aku ingin mengetuk ruang waktu,

Memaksa masuk mencari sebuah raga di masa lalu,

Hanya ia sang perebah penat pikirku,

Padanyalah aku percaya, bahwa ia dapat memahami dukaku.

 

Surabaya, 05 Mei 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

KETIKA TUHAN BERBICARA

Ketika Tuhan berbicara,

Tak ada seorang pun kan mendengar untaian kata-Nya,

Tak ada yang mengerti kerinduan-Nya,

Tak ada yang membalas cinta-Nya.

 

Ketika Tuhan berbicara,

Para hamba menutup telinga,

Membuntu sukma,
Seolah terlupa siapa penciptanya.

 

Hingga ketika Tuhan bersedih,

Burung-burung memaki,

Lautan membenci,

Langit tak kuasa melihat Dzat Yang Maha Mengasihi teracuh begitu perih.

 

Dan Tuhan pun berbicara,

Hingga dunia tunduk kepada-Nya,

Barulah kesayangan-Nya datang berlinang air mata,

Dan berseru..

“Mengapa KAU membenciku?”

“Mengapa aku diuji sedemikian rupa?”

“Mengapa aku dibuat menangisi derita?”

 

Tuhan sedih atas tuduhan yang dihaturkan untuk-Nya,

Oleh yang dikasihi-Nya,

Telah melukai hati-Nya,

Hingga bumi dan seisinya membuncah,

Hasrat untuk menenggelamkannya bulat sudah,

Namun Tuhan tak merestui,

Hingga DIA tetap ingin bicara,

Tak peduli seberapa lama,

Hingga kesayangan-Nya datang,

Terseok dengan raga penuh air mata,

Jiwa penuh luka,

Merengek dan meminta,

Agar dilepaskan jerat duka yang membelenggunya,

Ia menjerit meronta.

 

Oh, Tuhan kembali berbicara,

Tersenyum lega namun sedih,

Melihat yang dikasihi-Nya begitu terluka,

Padahal Tuhan hanya ingin berbicara,

Bahwa DIA merindukannya,

Yang dicipta dengan penuh cinta,

Agar datang pada-Nya,

Agar tak menyibukkan diri dengan panggung sandiwara dunia,

Agar ia menjawab panggilan-Nya,

Dan mengobati rindu-Nya.

 

Begitulah ketika Dzat Yang Maha Sempurna,

Sedang merindukan ciptaan-Nya,

DIA akan berbicara, memanggil dengan cara-Nya.

 

Surabaya, April 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

LELAKI LUGU

LELAKI LUGU

Teruntuk lelaki lugu,

Mata menemukanmu di beberapa bulan lalu,

Di antara jasad yang hidup namun mati,

Hanya jiwamu yang seharum melati,

Mendekat dan menyapa bak malaikat turun atas titah Tuhan-nya ke bumi.

 

Teruntukmu lelaki lugu,

Seribu gendang ditabuh dari segala penjuru,

Petasan perayaan tahun baru yang menyala di udara,

Melukiskan hati yang gegap gempita,

Sejak pertemuan itu,

Ada syukur yang tertambat untukmu,

Hingga haru mata ini menatapmu.

 

Teruntuk lelaki lugu,

Yang menggiringku layaknya musafir di gurun pasir,

Aroma tubuh, tutur kata, dan jemarimu,

Tanpa jemu ciptakan oase penghilang dahaga,

Yang walau nyatanya fatamorgana berisikan derita.

 

Lelaki lugu,

Engkau berkata tanpa diminta,

Mengecup tanpa amanah,

Menyentuh tanpa rasa bersalah,
Menabur dosa tanpa merasa hina.

 

Teruntuk lelaki lugu,

Yang dikenal sejak beberapa bulan lalu,

Tak ada sangka kau begitu lugu,

Terlalu lugu untuk mengumbar kata cinta,

Terlalu lugu untuk menggenggam erat asa,
Terlalu lugu untuk mengusik kehidupan kembang yang merindukan penjagaan,

Dan terlalu lugu untuk menyematkan dosa di antara sayap bidadari yang patah.

 

Padahal Tuhan telah mengaruniakanmu sebuah tulang rusuk dan malaikat kecil,

Yang setia menunggu di peraduanmu,

Tapi kau terlalu lugu,

Sibuk mencari tulang rusuk lain untuk menghilangkan dahaga asamu,

Dahaga nafsumu,

Tanpa pikir panjang akan goresan luka yang kau sayatkan di sebuah permata, bernama wanita.

 

Surabaya, 14 April 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Jika rindu bisa berbicara,

Ia akan menetas di samping telinganya,

Dan menggema di setiap sudut ruangnya,

Bahwa ia datang,

Membawa nama dan cerita yang sama,

Dan kedatangannya semakin membuat luka ini menganga tanpa kata.

 

Surabaya, 11 Maret 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Kita bertemu di telaga sendu,

Kau dengan rindumu,

Aku dengan rinduku,

Mencoba menutup luka bersama,

Namun yang ada, ragamu menyerupai biru di masa lalu,

Yang semakin menghujamku dengan memori terkutuk itu.

 

Surabaya, 11 Maret 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

CERITA MAHASISWA

Kami mahasiswa,

Beberapa bulan lagi, semua akan sampai pada ujungnya,

Sesuatu bernama WISUDA.

 

Bagaimana rasanya, kami tak sanggup berkata,

Juga belum tahu ke mana kaki ‘kan dibawa melangkah,

Karena bukan termasuk dalam jajaran mahasiswa ber-IPK mempesona,

Bingung rasanya,

Harus apa atau bagaimana.

 

Bahkan dalam pencarian tempat magang saja,

Butuh dua bulan lamanya,

Membaca buku ini-itu,

Bertanya kesana-kemari,

Hingga kami menggantang, memikirkan yang bukan-bukan,

“Bagaimana jika magang itu tidak mudah?”

“Bagaimana jika sampai melakukan kesalahan?”

“Mempermalukan diri sendiri dan almamater kami?”

 

Oh, andai kami titisan mahasiswa ber-IP tinggi,

Pasti tak perlu separanoid ini.

 

Hari demi hari terlewati,

Dengan pembahasan: aan magang di mana kami nanti?

Hampir setiap hari,

Tak peduli matahari memanggang begitu perih,

Tak peduli bahwa kami masih saja survey lokasi,

Bahkan beberapa jam sebelum Ujian Tengah Semester dimulai,

Kami masih mencari,

Hingga benar-benar letih.

 

Belasan lembar surat izin yang diajukan sangat cukup jadi saksi,

Bahwa kami tak akan berhenti,

Bahkan saat teman-teman muak melihat nama kami terpampang di lembaran-lembaran surat izin ini,

Kami tak peduli.

 

Hingga pertengahan Januari,

Kami berjanji akan berhenti,

Setelah belasan instansi serempak mengacuhkan permohonan yang ada,

Ah, sungguh tersadar bahwa hidup tidaklah mudah,

Kecewa dan letih akhirnya datang juga,

Membuat kami berikrar bahwa instansi yang satu ini adalah yang terakhir,

Jadi, jika nanti tak berhasil juga,

Mungkin belum rezeki saja,

Saatnya menyerah.

 

Kami lupa,

Bahwa di ujung kesukaran akan ada kemudahan,

Perjalanan dan pengorbanan dalam pencarian tempat magang,

Yang sungguh menguji kesabaran, selesai sudah,

Tempat terakhir telah ditemukan,

Jalan kami telah dimudahkan Tuhan,

Dan inilah yang dinamakan perjuangan,

Sebuah cerita yang patut untuk dikenang,

Mensyukuri nikmat Tuhan,

Yang telah menyibakkan usaha berbingkai putus asa,

Kini berubah jadi tawa di tempat yang berbeda,

Yang mengajarkan kami segala,

Lingkungan baru,

Teman baru,

Saudara baru,

Keluarga baru,

Dan pengalaman baru,

Hingga kami mengerti rasanya menjadi pegawai negeri,

Seperti apa dunia kerja,

Yang tak lama lagi akan berpihak pada kami, mahasiswa.

 

Ya, beginilah adanya,

Di setiap cerita, pasti banyak warna, tawa, dan airmata,

Namun ingat,

Bahwa Tuhan perlu melihat seberapa besar yang kami upayakan untuk sebuah pencapaian.

 

Surabaya, 03 Maret 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Entah kapan terakhir kali kutulis puisi,

Aku tak ingat sama sekali,

Bahkan untuk sekedar kembali merangkai diksi, aku sangsi,

Sepertinya duka telah mengambil alih hati dan imajinasi.

 

Surabaya, 25 Februari 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Berdiri di antara sunyi,

Menepi,

Mencoba memreteli para duri yang menghujam hati.

 

Waktu telah berlalu,

Menjauh dari masa lalu,

Jelas tak bisa lagi kuulang dimensi itu.

 

Namun berada dalam fase ini,

Sungguh membuatku merindu,

Bukankah aku sampah yang telah kau buang di entah belahan bumi mana,

Jelas namaku tak lagi kau semat dalam jiwa,

Tidak juga rasa bernama cinta.

 

Aku pun normal, tak sedang amnesia,

Hingga satu nama masih tetap kunobatkan untuknya,

Yaitu: orang paling kubenci sedunia.

 

Oh, mungkin terkesan berlebihan bagi si pembaca,

Tapi masa bodoh dengan mereka,

Mereka tak tahu apa-apa,

Tak tahu rasanya,

Tak ikut mengalaminya.

 

Tapi berdiri di fase ini,

Membuatku seakan tak punya harga diri,

Sang sampah merindukan pembuangnya,

Tapi bukan rindu karena cinta,

Tidak!

 

Sampah itu merindu sebab hanya dia yang mampu mendinginkan kalbu,

Meredam amarah hingga sekedar jadi angin lalu,

Andai bisa mengulang sang waktu,

Aku ingin bicara pada “sang raja”,

Raja si pembunuh hati anak manusia,

Entah dia terlahir dari apa,

Jelasnya, hanya dia yang ingin kusentuh lagi,

Khusus untuk mendengar jerit hati,

Tapi nyatanya…

Ketiadaan raganya justru lebih perih dari terhujamnya sebilah belati.

 

Surabaya, 16 Januari 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

MENCINTAI HUJAN

Aku sempat memaki,

Saat ia datang tanpa permisi,

Membuat langkahku juga langkahmu harus terhenti.

 

Aku sempat membenci,

Saat ia berderai tanpa henti,

Menggenang kesana-kemari.

 

Hingga Tuhan menitahkan,

Untuk sesekali berjalan di tengah hujan,

Mencoba berkenalan,

Sampai kudapati secercah harapan.

 

Kini aku belajar mencintainya,

Tak peduli ia datang tiba-tiba,

Dan seolah mengacaukan segala.

 

Aku belajar mencintai hujan,

Tak lagi menepi saat ia turun lagi,

Tak perlu berhenti,

Kuteruskan saja langkahku,

Kuanggap ia sebagai warna yang dititahkan-Nya,

Untuk mencoba menghalangi mimpiku,

Mengajakku menjadi pribadi penakut,

Yang hanya bisa bersembunyi saat masalah datang kian semrawut.

 

Aku berjalan di tengah hujan,

Tak lagi menepi,

Kurasakan tetesannya merajam kulit tanpa henti,

Terpaannya menghempaskan ke kanan dan ke kiri.

 

Aku mencoba mengerti,

Datangnya ia juga hasil karya Dzat Yang Maha Memiliki,

Kuanggap ia mencoba menenggelamkan mimpi,

Yang sudah terbingkai rapi,

Karenanya aku tetap melangkah pergi,

Akan kubuktikan bahwa aku pemberani,

Sang peraih mimpi,

Yang akan menerjang walau hujan menghalangi,

Toh pelangi akan datang saat ia telah pergi.

 

Surabaya, 05 Januari 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Untuk apa berhenti atau menepi saat hujan turun lagi,

Lanjutkan saja langkahmu,

Anggap ia masalah yang mencoba menghalangi mimpimu,

Terjang ia,

Rasakan sakitnya saat tetesnya menghujam kulitmu,

Itu bukti bahwa kau mampu bertahan demi sampai ke tmpat yang kau tuju.

 

Surabaya, 04 Januari 2013.

(Posted by Nuni رحموت )

SI KEMEJA BIRU YANG TERNYATA ABU-ABU (part-1)

Sebelum malam berganti pagi,

Kusematkan syukur bercampur bahagia tanpa tepi,

Di tahun ini aku bertemu,

Setelah belasan tahun dipisahkan waktu,

Dialah Si Kemeja Biru yang ternyata Abu-Abu.

 

Surabaya, 31 Desember 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

SI KEMEJA BIRU YANG TERNYATA ABU-ABU (part-2)

Tak peduli asa yang terbuang percuma,

Karena malam menyisakan cerita,

Di antara jemari yang bertemu kala itu,

Terselip rindu yang luluh,

Lalu membuatku dan si kemeja biru yang ternyata abu-abu,

Beradu,

Kami membisu.

 

Surabaya, 29 Desember 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

SI KEMEJA BIRU YANG TERNYATA ABU-ABU (part-3)

Aku teringat kala malam jadi saksi,

Saat rindu kita selipkan dalam jemari,

Membiarkan jantung berdegup tak menentu,

Dan ada harap waktu dapat membuat kita terpaku.

 

Surabaya, 29 Desember 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Kita,

Dua raga,

Satu rasa,

Rasa yang kau sematkan dalam setiap tawa,

Ketika sampai aku bertanya,

Ke mana rasa ini kan kau bawa selanjutnya,

Kau menghilang tiba-tiba.

 

Surabaya, 29 Desember 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Jangan memisah raga dari jiwa,

Jangan melerai senja dari dingin malam,

Jangan memecah hujan dari keheningan,

Jangan merutuk air mata dari nestapa,

Dan jangan menyela kata dari sang hati,

Biar penaku menari,

Biar lidahku terkunci,

Dan biar kutulis sebait puisi.

 

Surabaya, 18 Desember 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

MEMANAH DEBU

Kita bagai udara dalam ruang yang sama,

Dipertemukan sang waktu,

Namun hinggap di jiwa yang berbeda.

 

Aku laksana gemintang dan kau sang malam,

Bertemu dalam satu tujuan,

Dalam peleburan siang yang panjang.

 

Aku seperti ilalang dan kau padinya,

Sama-sama tertawa,

Walau cerita tak pernah tercipta di dalamnya.

 

Aku Sang Hitam sedang kau Sang Jingga,

Dua warna yang berbeda,

Terbias tidak untuk tempat yang sama.

 

Namun aku merpati dan kau rajawali,

Kita datang dari arah yang tak kutahu,

Untuk terbang seolah mengajakku ke dalam singgasanamu.

 

Kini aku abu, engkau kayu bakarnya,

Merayu dan menyatu tanpa cela,

Lalu kau biarkan asaku membumbung ke angkasa.

 

Ada benci yang kudapati,

Berusaha menepi dan berhenti,

Dan mencoba merangkai arti, seorang diri.

 

Namun kalbu tak menderu,

Jiika tak berkalang rindu,

Pupus sudah asa dan kisahku.

 

Kini aku memanah debu,

Menggoyahkan ruangmu yang kau tutup sejak beberapa waktu lalu,

Jika debu itu menyesakkan dadaku,

Harusnya tak perlu kau sibakkan warna dalam rongga,

Yang tercemar fatamorgana setelah sekian lama.

 

Surabaya, 14 Desember 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

NOSTALGIA LAMA

Di terik Jumat aku melangkah,

Menyusuri Ngagel mengarah ke Pucang,

Aku berbisik dalam diam,

Jalan ini pernah kulewati bersama seorang anak Adam,

Yang kini aku lupa bagaimana ia punya rupa.

 

Ia datang mengajakku menyusuri petang,

Hingga siapa sangka hari itu ia harus berhenti berjuang,

Ketika restu tak mengantarkanku pulang,

Dan terpaksa diam hingga air mata berlinang.

 

Dialah Sang Surya,

Yang selalu berusaha menghangatkan manusia di sekitarnya,

Apa daya jika Tuhan menitahkannya,

Agar berhenti dan mencari tempat lain untuk ia sinari,

Ia pun patah hati,

Namun kini telah berganti,

Ketika cinta telah meliputinya kembali.

 

Surabaya, 07 Desember 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

MOVE 0N

Inilah saatnya,

Berhenti dari keterpurukan hati,

Tertawa dari luka yang tak kunjung pergi,

Dan melangkah dari arah yang tak pernah pasti.

 

Ucapkan selamat tinggal pada apa saja yang tak nyata,

Buang jauh dan hapus keputusasaan yang ada,

Yakin jalan ini akan berhenti dalam tawa bahagia,

Dan percaya bahwa ada yang lebih indah di ujung jalan sana.

 

Pastikan berdiri untuk melangkah pergi,

Pastikan tertawa dan nikmati pagi apa adanya,

Semoga segera bertemu dengan bahagia yang didamba,

Di akhir cerita.

 

Surabaya, 25 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Kita adalah wajah,

Bagai malam dengan siang,

Bagai punuk merindukan bulan.

 

Surabaya, 22 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Kita bagai pohon,

Satu rasa,

Yang dulunya saling bertegur sapa,

Kini kaulah daun, aku dahannya,

Kau menggugur tiba-tiba.

 

Surabaya, 22 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

 

(TANPA JUDUL)

Kita 2 wajah 1 kisah,
Melebur menyibakkan asa,
Memporak-porandakan mimpi,
Dan kau terbang tanpa permisi,
Sedang aku membisu jadi embun pagi.

 

Surabaya, 22 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Jika rindu akan jadi abu,
Sejak dulu kupupuskan saja rasaku,
Jika asa jadi percuma,
Sejak dulu aku tak sudi mendengar candamu berbalas tawa,
Ah, enyahlah saja.

 

Surabaya, 22 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Semakin malam aku bermain dengan kata,
Mempermainkannya, kurangkai, dan kukirim ia,
Persis sepertinya yang mempermainkan canda berbingkai asa.

 

Surabaya, 22 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Jika kusibakkan masa lalu,
Gambar kita yang pertama kali kucari,
Kucaci dan kumaki,
Kurutuki dan kusumpahi tak kan pernah terjadi,
Sebab aku tak sudi.

 

Surabaya, 22 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Senja tak perlu datang jika toh nantinya ‘kan hujan,
Pelangi tak perlu susah-susah kau bingkai jika toh nantinya kau pecahkan,
Enyah saja kau kawan.

Surabaya, 22 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Lama tak bersua bukan masalah sempurna,
Namun jika janji hanya sebatas sampah,
Dan asa sebatas percuma,
Demi apa harusnya kubenamkan semua.

Surabaya, 22 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Semakin malam sajakku bergema,
Kirimkan sejuta tanda tanya yang memuakkan jiwa,
Sedang ia tersungkur sudah,
Oh, jangan pernah terbangun ya…

 

Surabaya, 22 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Duhai Rabb Dzat Yang Maha Tau,

Walau sempat ragaku terbujur kaku,

Masih ada setetes tirta menggenang dalam telaga asa dan rinduku padanya,

Berharap hal itu tak nyata.

 

Oh, andai malam berbicara,

Ia akan menyelimuti dengan asaku,
Asa yang kini berubah jadi abu,

Saat kudapati sesuatu dalam dirimu,

Yang membuat lidahku membisu.

 

Kini kuselipkan sebait rindu untuk si kemeja biru atau abu-abu,

Semoga terbawa bisikan Sang Bayu,

Dan sampai ke dalam sukmamu.

 

Kulayangkan sajakku untukmu si kemeja biru atau abu-abu,

Sajak rinduku padamu,

Yang kini berubah menjadi rasa biru dengan hati beku.

 

Surabaya, 19 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Aku ingin menyatu dengan malam,

Mengizinkan dingin menusuk hingga ke tulang,

Merasakan sejuk sisa tetesan hujan di tengah kemarau,

Terlebih jika langit meneteskannya kembali,

Membasahi raga ini,

Meredam jerit hati,

Dan membuat bulir ini luruh bersamanya,

Hingga ragaku melemah, lelah,

Terjatuh, tersungkur, dan tertidur di tengah gemuruh dalam sukma,

Berbalut dekapan hangat Tuhan yang mengantarku dalam keteduhan,

Hingga esok, tubuhku telah menjelma jadi embun pagi,

Yang menetes indah seolah tak ada lagi duri menghiasi.

 

 

Surabaya, 17 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

MALAM INI DATANG JUGA

Akhirnya, malam ini datang juga,

Sang waktu mempertemukanku denganmu,

Di mana segala kemelut jadi satu,

Melemahkan ragaku,

Mengacaukan pikirku,

Menyesakkan kalbu.

 

Akhirnya, hari ini datang juga,

Hari di mana kutemui sejuta luka,

Melepas rindu pada pujaan hati,

Penat berdiri dalam singgasana penuh duri,

Dan satu lagi,

Aku tenggelam dalam ruang,

Tangis luruh bersama jeritan hujan.

 

Kubenamkan raga dalam kebingungan,

Gamang,

Entah harus terbang atau terjun dalam jurang,

Puisi dan bulir mengalir dari sudut mata,

Ini untukmu, ibu,

Yang memaksaku membakar mimpi jadi abu,

Karenamu aku bisu,

Dan esok kan kau dapati parasku penuh kelabu.

 

Akhirnya, malam ini tiba,

Setelah cukup lama ruangku tak basah oleh air mata,

Pujaan hati, rindu, penat, dan frustasi mendemoku,

Memporak porandakan pikirku,

Jika esok aku gila, jangan ditanya mengapa.

 

Akhirnya, malam ini jadi saksi,

Rindu kubuang jauh,

Penat masih memasung ragaku,

Dan entah apa jawaban Tuhan atas dukaku terhadap wanita bernama ibu,

Duhai Dzat Yang Maha Mendengar, jawablah puisiku,

Peluk aku,

Bisikkan padaku bahwa ini hanya sebatas cerita,

Yakinkan aku tetap terbang menggapai kembali segala asa.

 

Surabaya, 17 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

RUPANYA

Terik ini,

Si hitam di atas meja jadi saksi,

Rindu dan asa yang menuntunku menguak si kemeja biru atau abu-abu,

Terbayar sudah.

 

Rupanya,

Bukannya rindu terobat haru,

Bukannya asa berbingkai gelisah menanti realita,

Faktanya, kubuang jauh rinduku,

Kuterbangkan jauh mimpi itu,

Aku terbujur kaku menatap si kemeja biru atau abu-abu,

Rupanya, tak seindah pikirku.

 

Surabaya, 15 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Senja semburat antara merah dan jingga,

Menyembul di antara awan dan pepohonan,

Mengawasi langkah yang menari penuh mimpi,

Ia berkata, “jangan sampai kau membangun telaga duri untuk kesekian kali.”

 

Surabaya, 09 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Hari ini seperti kemarin,

Aku pulang dengan peluh bercampur rindu,

Senja jadi saksiku,

Atas do’a dan asa pada ia, si kemeja biru atau abu-abu.

 

Surabaya, 09 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Di pekat malam ia berkelana,

Tak ada rencana awalnya,

Tuhan mempertemukannya dengan rasa penyempurna hampanya,

Ia menjabat dan berkata, “Tuhan hentikan waktuku…”

Kutatap haru si kerudung hitam berselendang ungu,

Matanya layu,

Biar aku mengubahnya dengan binar bernama cinta berbalut rindu.

 

Surabaya, 08 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

PUISI

Puisi,
Menutup biru, menyingkap kelabu,
Tak ada yang tahu hati tengah berderu, terpaku, atau kelu akibat merindu,
Puisi, pasung ia dalam ruangku.

 

Surabaya, 08 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Jika tiba waktuku tak rangkaikan puisi untukmu,
Bukan aku tak lagi merindu,
Tapi aku mulai jenuh dengan asa yang semu,
Biar kutitipkan asa itu lewat do’a dan hempasan Sang Bayu.

 

Surabaya, 08 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Baru kali ini aku jatuh cinta,

Pada ia yang datang tiba-tiba,

Menyembul di antara cahaya dan kelam malam,

Menyapa dengan kehangatan,

Hingga tersadar ia telah hilang dari pandangan,

Secepat itu???

Ya!

Dialah senja di kalbuku,

Tepiskan dukaku,

Dan kini,

Aku merindu.

 

Surabaya, 08 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Dialah puisiku,

Untuknya lah tak terhitung kataku,

Tak terhitung waktuku,

Lelaki berkemeja biru atau abu-abu,

Entah karena rindu, mataku sedikit layu,

Dialah puisiku,

Yang membuatku merindu tanpa kenal waktu.

 

Surabaya, 08 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Lihat,

Senja memerah,

Mengintip dari celah jendela,

Membias lewat dinding tua,

Ia berkata,

“Aku senja dan aku sendu,”

“Tapi aku lebih indah dari air matamu,”

“Percayalah, Tuhan ‘kan tunjukkan kau bisa memukau sepertiku.”

 

Surabaya, 08 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Aku pulang dengan tatapan penuh duka,

Diiringi senja yang menyembul di antara awan dan menara,

Senja tak ‘kan seindah itu tanpa sentuhan-Mu,

Begitu pun aku,

Tak ‘kan sanggup melangkah jika tak KAU hapuskan dukaku.

 

Surabaya, 08 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Aku jatuh cinta pada embun pagi,
Tiba setelah kumandang subuh teresapi,
Menetes tanpa henti,
Menyejukkan jiwa setelah lama menanti,
Dan mengganti luka dengan kesejukan di hati,
Oh…
Kuharap ia datang lagi.

 

Surabaya, 07 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

SUNYI

Sunyi itu sepi,
Sunyi itu menari dalam bait-bait puisi,
Sunyi itu rinduku yang tak bertepi.

 

Surabaya, 07 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Kelak ‘kan datang manusia berhati malaikat,

Yang tak jenuh melihat air mata itu,

Yang tak ‘kan meninggalkan dengan rasa iba.

 

Kelak akan datang ia,

Setia dan ikhlas menanti bulir itu,

Merindu bagai tetes embun yang tak kuasa ia sentuh,

Lalu berikrar untuk menjaganya,

Menikmati setiap tetes indahnya,

Dan menggantinya dengan kesejukan bernama, cinta.

 

Surabaya, 04 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Lihat rinduku bagai remang lilin menanti lentera,

Antara ada dan tiada,

Tak jarang meredup diterpa angin malam,

Namun tetap terjaga hingga kau datang menggantikannya,

Dengan sebuah cahaya bernama: cinta.

 

Surabaya, 04 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Aku terbangun di antara senja dan semburat malam,
Ada pelangi tersirat di bulatan mata,
Sebab pertemuan itu, asaku seolah nyata,
Aku bahagia.

Ah, aku ingat,
Sedari tadi aku membicarakan mimpi semata.

 

Surabaya, 04 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Si biru tak lagi sendu,
Sejak pertemuannya malam itu,
Hingga terjaga dalam gulita,
Dan tertidur membawa serta pujaannya,
Yang dirindu telah bertemu,
Namun ia kelu, teringat masa lalu,
Ah, biar kini rindu jadi rahasianya dengan sang bayu.

 

Surabaya, 03 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Kutunggu saat itu,
Saat kukepakkan sayap patahku,
Meninggalkan sarang dan sekawanan yang sempat mengibakanku dulu,
Dikiranya aku lemah,
Ah, lihatlah!
Kepakanku lebih indah darimu,
Dan jangan merindu kala aku tak kembali menyapamu.

 

Surabaya, 03 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Tunggulah dulu,

Senja akan merunduk dan pergi,

Tak kembali,

Yah, sebentar lagi,

Tak kan kau jumpai ia di antara terik dan pekat malam,

Dan kau kan bersedih kemudian.

 

Surabaya, 03 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

JERAWAT

Datang di akhir bulan,

Galaukan paras ayu jadi tak karuan,

Hanya satu, tapi enggak nahan,

Dialah jerawat,

Langganan yang datang saat banyak pikiran.

 

Surabaya, 03 November 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Waktuku tak banyak,

Coba kau buka dan kau baca tumpukan puisi yangg kurangkai sendiri,

Hingga sebuah pertanyaan terbersit darimu,

“Mengapa begitu banyak puisi tanpa judul?”

Ya!

Seperti itulah rasa di antara kita,

Ada, nyata,

Namun tak begitu jelas, tanpa judul,

Dan mampu membuatku bermimpi indah.

 

Surabaya, 25 Oktober 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Aku cemburu melihatmu,

Bercengkerama dan berpeluh mesra bersama lembaran kertas,

Setumpuk buku, pena, dan berbait-bait puisi serta cerita,

Tidakkah kau ingin cari tahu di mana aku?

Tidakkah ingin tahu kapan aku ‘kan berlabuh padamu?

Oh, aku salah!

Kesibukan itu membuatku cemburu,

Padahal sejuta kata yang digoreskan indahnya itu: tentangku,

Sosok yang kau rindu dan kau tunggu.

 

Surabaya, 25 Oktober 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Aku menatapmu enggan,

Kupandangi wajahmu perlahan,

Aku berharap banyak tapi sedikit,

Ah, aku ragu dengan asaku sendiri,

Yang rasanya tak mungkin terjadi.

 

Surabaya, 25 Oktober 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

RABU

Teringat rabu kala itu,
Dan rabu dua hari yang lalu: tak beda jauh,
Wajahmu menyembul di antaraa pekat mengusir senja di pelataran,
Mengapa rabu berlalu seperti itu?

 

Surabaya, 19 Oktober 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

HUJAN DI TENGAH KEMARAU

Sebelum kau datang,

Aku tengah sibuk memanjakan jemari,

Merangkai cerita,
Bersandar pada kursi tua,
Mengorek kembali memori hingga tak tersisa.

 

Kulihat mereka bercengkerama dengan malam,

Mengibaskan rambut dan melucuti pakaian yang membuatnya gerah,

Sementara petani memandang hambar,

Sawah di depannya gelap di bawah gulita malam,

Dan kuning kering saat mentari datang.

 

Akhirnya kau datang,
Aku mencium aroma tubuhmu,

Yang khas dari tahun-tahun lalu,

Menghentikan jemariku yang terkoneksi dengan memori,

Aku pun segera berlari,

Memastikan benar kau tengah datang kemari.

 

Aku mendapatimu nyata, bukan fatamorgana,

Kau datang malam ini,

Aku segera menyambutmu,

Merasakan sejuknya tetesanmu,

Oh, kau mengobati rinduku.

 

Hujan datang di tengah kemarau,

Aromanya mengalahkan aroma masakan ibu,

Tetesnya sejukkan kalbu bagai air wudhu,

Dan kedatangannya mengobati rindu yang semakin menderu.

 

Surabaya, 11 Oktober 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Segeralah datang sayang,

Mari saling melepas rindu,

Mari bertukar puisi,

Menyatukan asa dan syukur jadi satu,

Hingga hanya aku, kau, dan Tuhan kita yang tahu.

 

Surabaya, 11 Oktober 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Jemariku ingin segera sampai di saat itu,

Di mana kan kutuangkan impian menjadi tulisan,

Lalu kututup dan kuselipkan doa agar jadi kenyataan.

 

Surabaya, 11 Oktober 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Hari ini,

Cukup sampai di sini kukorek sisa-sisa memori,

Cukup membuat pilu dan kelu,

Untuk sekedar ungkapkan kisah pahit tentangmu.

 

Surabaya, 11 Oktober 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Dan selalu ada harap terselip dalam bait-bait itu,

Menanti kau terbangun esok hari,

Dan mulai menyadari di akhir malam,

Untukmu lah selalu kurangkaikan puisi.

 

Surabaya, 10 Oktober 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Jika cinta begitu agung,

Aku akan terdiam di depanmu,

Karena aku hanya sanggup sampaikan melalui Rabb-ku,

Agar dari Sang Maha Agung-lah rasaku sampai kepadamu.

 

Surabaya, 10 Oktober 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Jika cinta begitu ringan terasa,

Kan kutarik secarik kertas dan kugoreskan padanya setiap hari,

Lalu kuterbangkan ia tinggi-tingi,

Hingga sampai padamu, terselip dalam jemari hati.

 

Surabaya, 10 Oktober 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Begitulah puisi,

Bagai menggali kubur dalam lautan tak bertepi,

Tak ada yang tahu kemana kan terhenti,

Biar penyair dan Rabb-nya yang memberi arti.

 

Surabaya, 03 Oktober 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

SI JUBAH HITAM

Sampailah ia di telaga mimpi,

Lubang hitam yang terkadang penuh lampu warna-warni,

Namun kerlipnya terkadang mmbuatnya tak ingin terbangun lagi.

 

Segala berubah dan berjalan seperti biasa,

Kejanggalan muncul tiba-tiba,

Ketika si wanita berjalan di bawah rinai hujan,

Kenakan jubah hitam mendekap bingkai janji dalam pelukan.

 

Berjalan ia di tengah malam,

Hingga nampak sesosok tak jauh dari tempatnya melangkah,

Wanita itu mengenalinya,

Bahkan sebelum sosok itu menampakkan wajahnya.

 

Hujan tak kunjung reda,

Menambah dalam duka yang ada,

Dinginnya menusuk hingga ke dalam sukma,

Sedingin lelaki itu saat melihat ke arahnya.

 

Dialah lelaki berjubah hitam,

Yang sempat bingkaikan janji beberapa waktu silam,

Janji itu kini usang,

Namun bingkainya masih terjaga dalam pelukan,

Sampai sekarang.

 

Duhai Tuhan,

Tidakkah Kau ingin menghujamnya,

Hingga menggelepar di depan mata,

Agar terbayar sudah janji-janjinya yang begitu mudah dilupakan.

 

Wahai hujan,

Mengapa pula kau biarkan ia berlalu dengan angkuhnya,

Menatap si wanita tak lebih dari sekedar masa lalunya,

Padahal bingkai janji dalam pelukan masih melekat di dadanya.

 

Malam itu,

Di balik hujan dan balutan jubah hitam,

Sang lelaki pengobral janji begitu saja pergi,

Sementara si wanita terseok lanjutkan langkahnya,

Masih dengan janji usang didekapnya,

Ia berjalan pulang,

Basah raganya oleh rinai hujan,

Tak sebasah jiwanya yang penuh air mata kecewa.

 

Surabaya, 30 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Karena hitam, aku tenggelam terlalu dalam,
Karena biru, aku menunggu berujung cemburu yang pilu.

 

Surabaya, 30 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Aku bermimpi ketika puisi membelaiku,

Aku berdiri ketika puisi menyapaku,

Aku berlari ketika puisi menyentuh langkahku,

Aku terbang ketika puisi sambungkan sayap patahku,

Dan aku tenggelam ketika puisi menarikku keluar dari dunia nyata yangg bagai fatamorgana.

 

Surabaya, 26 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

SEBUAH PUISI

Namanya begitu menentramkan hati,

Sebuah kata yang penuh arti,

Bagi jiwa yang rindu teka-teki.

 

Puisi,

Sebuah karya yang jadi saksi,

Akankah malam jadi pagi,

Atau embun kan datang esok hari.

 

Sebuah puisi,

Bagai hamba yang merindukan Surgawi,

Haus tiada henti,

Biarkan jari menari sesuka hati.

 

Dialah puisi,

Selalu ada rindu yang terpasung dalam kalbu,

Jika satu hari saja tak bertemu.

 

Dialah puisi,

Merubah gelap jadi terang,

Merubah nestapa jadi girang.

 

Dialah puisi,

Namanya mampu membuatku tersipu malu,

Pipi merah menyala,

Mata berbinar ceria,

Terkadang hanyut dengan syairnya yang merayu.

 

Dialah puisi,

Yang mampu membuat langkah hilang arah,

Menarik jiwa ke dunia yang tak nyata,
Segala berbeda,

Segala tak sama,

Ketika puisi menyapaku,

Bibir seketika itu membisu,

Dibawa aku ke langit ke tujuh,

Tempat di mana tak ada seorang pun kan mengganggu.

 

Dialah puisi,

Mampu meredupkan cahaya,

Namun juga menggantinya dengan senyum penuh makna,

Seakan musnah segala gundah,

Yang ada hanya duniaku,

Duniaku tanpanya, tanpa juga dirimu,

Dunia baru yang menyibakkan kelabu,

Karena dia mampu membiusku,

Cinta dan rinduku jadi satu,

Menyihirku hingga tak peduli waktu.

 

Surabaya, 26 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Aku mencintaimu bagai malam menanti senja,
Karena saat itulah rona karya Tuhan terpancar sempurna,
Dan aku tersenyum dapat memandangmu dalam diam, tanpa suara.

 

Surabaya, 24 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Aku mencintaimu bagai mata menatap senja,
Indah,
Namun tak dapat kuraih,
Dan kau harus pergi,
Tenggelam di perut bumi,
Seperti asaku yang hanya kusimpan sendiri.

 

Surabaya, 24 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Jika kelak aku mati,
Tak ‘kan ada yang tersisa lagi,
Tidak juga raga ini,
Hanya nama yang tergores indah bersama karya yang kupunya,
Yang ‘kan abadi sepanjang masa.

 

Surabaya, 22 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

 

(TANPA JUDUL)

Jika malam terasa begitu panjang,
Tak lain dan tak bukan agar kau dapat rebahkan segala kepenatan,
Bermimpi bersama para bidadari,
Hingga pagi datang kembali.

 

Surabaya, 22 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

 

KETIKA CINTA

Ketika cinta datang,

Menyapamu dalam sayup-sayup lembut sang bayu,

Membuaimu dengan kesejukan dalam kalbu,

Menghampiri di setiap rindu dan di celah-celah mimpi,

Membangun asa begitu tinggi,

Hingga ke langit tempat para bidadari.

 

Ketika cinta singgah,

Warna akan selalu menyibakkan nestapa,

Menenggelamkan kelam di tengah malam,

Ukirkan senyum di setiap langkah,

Hingga terlupa akan segala derita yang pernah ada.

 

Ketika cinta menggema dalam sukma,

Hanya ia yang kau sebut namanya,

Dan kau seakan terbang ke angkasa,

Bebas,

Lepas,

Bahagia bersama tawa tanpa cela.

 

Namun bukankah setiap yang ada akan tiada,

Dan yang datang pasti akan pergi,

Kini, ketika cinta pergi,

Relakan ia terbang tinggi,

Tak peduli meski tinggalkan perih,

Tinggalkan jiwa berlumur duka,

Dan sejuta tanda tanya.

 

Ketika cinta pergi,

Meninggalkanmu bersama mimpi yang belum sempat kau raih,

Menghempaskanmu bersama asa yang telah membumbung tinggi,

Sesungguhnya cinta hanya ingin berkata,

“Aku hanya singgah tuk warnai cerita anak manusia,”

Tak terkecuali engkau. Namun jika aku mendadak pergi”,

Walau kau masih terlena dengan sejuknya bagai embun pagi,

Bangun! Sadarlah bahwa ini hanya cerita.

Semua ini hanya warna. Tak nyata. Aku akan kembali lagi nanti.

Mungkin dengan ritme yang sama. Aku datang lalu akan pergi.

Sampai tiba saatnya nanti, Rabb-ku mengutusku untuk tetap di sana,

Di dalam hatimu. Menemani dan menghiasi hidupmu hingga ragamu kan jadi abu.”

 

Terjawab sudah segala tanya,

Resah,

Dan gundah yang ada,

Ketika cinta pergi, lepaskanlah,

Karena tak akan ada yang abadi di setiap sudut bumi ini,

Kecuali Tuhan Yang Maha Memiliki.

 

Jika hari ini tak selaras dengan mimpi,

Bangun dan berdirilah,

Siapkan kakimu tuk kembali melangkah,

Karena kisah tak akan berhenti dengan tanda tanya.

 

Terbanglah,

Jauh hingga menembus langit ke tujuh, bila perlu,

Siapkan jiwa untuk bertemu dengannya lagi,

Sampai cinta benar-benar membuatmu berhenti,

Ketika Tuhan telah mempertemukanmu dengan belahan jiwa,

Yang dicari selama ini.

 

Teruslah berlari,

Teruslah mencari,

Hingga langkah dan waktu yang kan membawamu berhenti pada akhir yang kau ingini.

 

Surabaya, 16 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

ADALAH CINTA

Adalah cinta,

Bila ia datang,

Warna dapat mengusir kelam,

Bila ia pergi,

Telaga menjadi kering dengan sepi menghiasi.

 

Surabaya, 14 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Tak ada yang membahagiakan selain ini,

Berdiri di antara keindahan dan kesejukan si biru, karya Tuhanku,

Menyusuri jalan tak bertepi,

Hingga bermimpi aku telah sampai di Surgawi.

 

Surabaya, 12 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Kupandang biru di depan mataku,

Luas membentang,

Sesekali kulihat si putih datang menerawang,

Dihempas aku dalam rona kasih Tuhan,

Oh, bahagianya.

 

Surabaya, 12 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

BIAR

Biar puisi kubingkai rapi,
Dan kubakar jadi abu masa lalu,
Biar Sang Ilahi jadi saksi,
Bahwa hatiku pernah berlabuh padamu, dulu.

 

Surabaya, 12 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

ADA SENJA

Ada senja di pelupuk mata,

Menari-nari membiaskan rona tak tentu arah,

Senja itu semakin merunduk, tepat saat kau semakin menjauh.

 

Ada senja terbias dari sudut jendela,

Mengejakan sebuah nama,

Nama yang bercampur dengan asa yang kukira tak ‘kan bisa sempurna.

 

Surabaya, 12 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Ibu, lihat semangatku yang berkobar tapi padam-putus asa,
Aku pulang dengan hati hampa merdeka penuh duka.

 

Surabaya, 12 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Kulihat embun masih mengayun di atas kulitku,
Membelai dengan hembusan sejuknya,
Menusukku dengan beningnya,
Ingin kubawa pulang ia, namun aku takut ia terluka.

 

Surabaya, 12 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Tujuh setengah jam yang lalu,

Kembali pulang dalam keadaan bibir kelu,

Hati beku,

Pikiran kelabu,

Sisa rintikan hujan menyapaku,

“Mengapa masih kaupedulikan hal itu?”

 

Surabaya, 12 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Jika rindu kupelihara,

Pasti kegalauan ‘kan datang menjelma,

Merebahkanku dalam ruang fatamorgana yang hampa,

Merajut asa yang tak ‘kan pernah jadi nyata.

 

Surabaya, 12 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

SEBUAH NAMA (part-1)

Sebuah nama,

Yang datang bawa serpihan luka,

Aku tau dia datang karena takdir Tuhan,

Namun untuk apa jika datang hanya untuk buat kedamaian hati bergelombang.

 

Surabaya, 12 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

(TANPA JUDUL)

Bagai burung yang terbang mencari jalan pulang,

Sedang jiwaku bimbang,

Saat akan melangkah kedepan,

Sebuah nama dari masa lalu datang,

Aku pun gamang.

 

Surabaya, 12 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

SEBUAH NAMA (part-2)

Sebuah nama,

Dari masa lalu datang,

Entah apa yang ia cari ketika ia kembali,

Percikkan api dalam lubang terdalam yang tak ingin kuselami lagi,

Ah, Aku frustasi.

 

Surabaya, 12 September 2012.

(Posted by Nuni رحموت )

INTROSPEKSI DIRI

Ketika ujian dari-Nya datang hingga sesakkan dada,

Bercerminlah!

Mungkin itu pertanda bahwa selama ini kau sedang berada di jalan yang salah.

 

(Posted by Nuni رحموت )

Pusaka Jawatimuran

Semua tentang Jawa Timur

Astry Craft

CrEaTive iMaGinAtioN

dimasgoblogdotcom

Just another WordPress.com site

Olives' Diary

“Menulis dapat menghilangkan rasa sesak di dada. Pindah ke Pluto mampu menghilangkan semua rasa sesak di Bumi. Terus menulis sampai pesawat menuju Pluto itu datang”

Pustaka Eidariesky

Syariah, Tarbiyah, Tutorial & Informasi

PITHECANTROPUS

Fatwa Absurdius Puitica Shalalala

StoryTeller

---Enjoy my story---

#DearBooks Project

It's from you. For Everyone.

MY OWN WORLD

A BLOG ABOUT ORDINARY GIRLS WORLD

Saffa' | Inspiration

Informasi Lowongan Kerja CPNS 2018, BUMN, Bank, Pendidikan, Beasiswa dll

sarungbiru

Santri Ingin Berbagi

Termos Kuaci

I post about random, mbuh, and sakkarepku

astitirahayu's bLog (1447)

MaRii SaLing bErBaGi iLmu dSiNii

Sketch's Blog

Just another sketching site

My Humz… My share place

Tiada hari tanpa bersyukur

WordPress.com News

The latest news on WordPress.com and the WordPress community.